Friday, December 28, 2018

G 30 s PKI kasus pellangaran ham atau bukan?

Cerita yang biasa di ceritakan kepad kita perihal penumpasan PKI atau gestapu, adalah bahwa pada tanggal 30 September malam, sejumlah prajurit Tjakrabirawa pimpinan Letkol Untung bergerak menculik enam jenderal dan seorang kapten: Komandan TNI AD, Jenderal Ahmad Yani, Letnan Jenderal Suprapto, Letnan Jenderal MT Haryono, Letnan Jenderal S Parman, Mayor Jenderal DI Pandjaitan, Mayor Jenderal Sutoyo Siswomiharjo, dan Kapten Pierre Tendean. Jenazah mereka kemudian ditemukan di sebuah sumur di Lubang Buaya, Jakarta. Panglima TNI Jenderal AH Nastion lolos, namun putrinya Ade Irma Suryani tewas, sementara ajudannya, Kapten Pierre Tendean, jadi korban, diculik bersama enam jenderal, lalu beberapa waktu kemudian. Terjadi penangkapan besar-besaran terhadap para anggota atau siapa pun yang dianggap simpatisan atau terkait PKI, atau organisasi-organisasi yang diidentikan komunis, seperti Lekra, CGMI, Pemuda Rakyat, Barisan Tani Indonesia (BTI), Gerakan wanita Indonesia (Gerwani), dll. Sebagian terbunuh. Sejumlah laporan menyebut, jumlah yang dibunuh begitu saja setidaknya mencapai 500.000 orang di berbagai daerah, khususnya di Pulau Jawa dan Bali. Berbagai kelompok turun ke jalan, menuntut pembubaran PKI. Sebagian juga menghancurkan markas PKI di berbagai daerah, dan menyerang lembaga-lembaga, toko, kantor, juga universitas yang dituding terkait PKI. Tentara menangkap dan memamerkan sejumlah orang yang diduga anggota dan simpatisan PKI di Blitar, Jawa Timur salah satunya adalah Putmainah, tokoh Gerwani dan anggota DPRD dari Fraksi PKI di Blitar. Dan berakhir dengan Pemerintah Orde Baru kemudian menetapkan 30 September sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September G30S dan tanggal 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Akhirnya, 11 Maret 1966, Presiden Sukarno, diikuti Mayjen Soeharto mengumumkan Surat Perintah Sebelas Maret di Istana Bogor, yang mengalihkan kekuasaan kepada perwira yang kemudian berkuasa selama 32 tahun. Begitu banyak versi, begitu banyak tafsir, begitu wacana. Juga begitu banyak korban, kebencian, dan saling tuding. Sampai sekarang berbagai upaya -dan niat- untuk menuntaskannya, tutup buku dari bab gelap sejarah Indonesia itu, tak kunjung berhasil.
Sebagian kalangan menganggap Soeharto memanfaatkan G30S untuk merebut kekuasaan, dan sesudahnya melakukan pembasmian terhadap para simpatisan komunis dan kalangan kiri, termasuk pembunuhan ratusan ribu orang. G30 S, PKI, komunisme, pembunuhan ratusan ribu orang itu kian lama justru kian jadi abstrak: topik yang muncul setiap waktu, khususnya bulan September, dan kini juga setiap ada pembicaraan tentang politik, pemilihan kepala daerah, juga pemilihan presiden. Berdasarkan penyelidikan selama empat tahun akhirnya Komnas HAM menyimpulkan telah menemukan cukup bukti adanya dugaan pelanggaran hukum berupa kejahatan terhadap kemanusiaan pasca peristiwa G30S PKI. Terdapat bukti permulaan yang cukup untuk menduga terjadinya kehjahatan terhadap kemanusiaan sebagai bentuk pelanggaran HAM yang berat sebagai berikut, satu pembunuhan pasal 7b, pemusnahan pasal 7b, dan pasal 9b UU 26 tahun 2000 kemudian perbudakan, pengusiran, penyiksaan, perampasan kemerdekaan dan kebebasan fisik pemerkosaan dan penghilangan orang secara paksa. Mereka yang dianggap bisa dimintai pertanggungjawabannya, adalah semua pejabat dalam struktur Kopkamtib 1965-1968 dan 1970-1978 serta semua panglima militer daerah saat itu. Dengan berbagai bukti ini, sesuai undang-undang yang berlaku Komnas HAM meminta Kejaksaan Agung untuk menggunakan hasil penyelidikan Komnas HAM ini sebagai bahan untuk melakukan penyidikan. Meski menolak menyebutkan jumlah korban, Komnas HAM mengakui sedikitnya 32.000 orang dinyatakan hilang akibat peristiwa itu.

Sunday, November 25, 2018

Sejarah pendidikan hukum di Indonesia

Soekarno mencela secara terbuka para ahli hukum dan hukum hukum formal yang dikukuhinya sebagai kekuatan kekuatan konservatif yang akan menhambat berputarnya roda revolusi karena para ahli hukum selalu berkutat secara legalistik pada hukum hukum formal inilah yang dengan dalih demi kepastian hukum selalu bercenderung untuk mempertahankan sistem sitem dan tertib tertib yang lama yang sesungguhnya amat kolonial. Sampai sekarang pun KUHP yang kita gunakan di Indonesia merupakan warisan hindia belanda. Lalu pada era orde baru tahun 1966. Pada masa ini pendidikan hukum ditujuan untuk menghasilkan lulusan yang dapat mendukung proses pembangunan di Indonesia. Para mahasiswa diharapkan tidak sedekar mengetahui teori dan peraturan perundang-undangan, tetapi sensitif terhadap berlakunya hukum di masyarakat. Mochtar Kusuma Atmadja menekankan berulang laki pentingnya pendekatan sosiologi dalam setiap upaya pendidikan dan kajian hukum. 1993 – terjadi kebutuhan dari pengunna lulusan hukum yang menggao lulusan hukum tidak siap pakai, kurikulum pendidikan hukum menglamami perubahan agar para lulusan tidak sekedar memahami teori tetapi juga menguasi ketrampilan hukum. Jatuhnya rezim orde baru membawa dampak demokratisasi di Indonesia. Ini diharapkan bahwa pendidikan hukum dapat menghasilkan lulusan yang progesif. Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa pendidikan hukum progresif merupakan lawan dari pendidikan hukum status quo karena tidak responsifnya hukum terhadap perubahan yang terjadi secara mendasar di Indonesia.
Hukum di jalankan secara dogmatis dan tidak peka pada proses transisi yang sedang dilami oleh Indonesia. Sekarang pasca reformasi dan pendidikan hukum sama sama saja. Perbedaannya adalah sekarang ada media bukan lagi hanya didapatkan melalui kuliah kuliah konvensional didalam kelas ataupun hanya dalam buku buku yang ada dalam perustakaan namun sudah menjadi lebih maju dan modern yaitu sudah online. Dengan Pendidikan hukum online diharapkan bahwa informasi hukum bisa lebih mudah diakses oleh semua orang dan bisa lebih bermanfaat. Pendidikan hukum sudah memasuki tahap e-learning yaitu tahap pembelajaran pendidikan hukum melalui media elektronik. Keuntungannya banyak bagi bangsa Indonesia baik informasi tersedia 24 jam setiap hari, tiada ada batasan geografis . Mungkin ini saatnya untuk melihat kembali kondisi pendidikan hukum di Indonesia semoga ini waktu yang tepat untuk kembali kepada semangat awal untuk melakukan perubahan dari sistem hukum yang kolonial menjadi sistem hukum dengan ciri khas Indonesia yaitu berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dengan Pendidikan hukum memasuki era infromasi dan teknologi, semoga masa depan hukum di indonesia sepertinya bisa semakin cerah.


Thursday, November 22, 2018

Notaris dan ppat

Ilmu hukum yang dicetak dan dikembangkan oleh institusi akademik bernama Fakultas hukum memberikan suatu kontribusi yang sangat luas dalam dunia kependidikan serta dunia profesi. Ilmu hukum hadir menjadikan generasi-generasi dengan berbagai profesi yang memiliki harkat dan martabat yang tinggi dalam tatanan sistem Kenegaraan di Indonesia ini, karena sejatinya Indonesia memakai sistem hukum campuran yang diadopsi dari sistem hukum eropa dan sistem hukum adat dan hukum agama. Oleh sebabnya keberadaan ilmu hukum memberikan peranan penting dalam menjalankan roda pemerintahan di Negeri ini. Profesi-profesi hukum yang dicetak yaitu Advokat atau Pengacara, Hakim, Jaksa, Polisi, Notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), dan lain-lain. Berbicara mengenai Notaris dan PPAT, mayoritas masyarakat awam menganggap kedua profesi ini adalah sama fungsinya, masyarakat menganggap profesi Notaris lebih populer dari pada PPAT, karena mayoritas masyarakat awam hanya mengenal Notaris saja sedangkan PPAT bak profesi yang asing didengar dimata. Tak jarang juga profesi Notaris dianggap "sama" dengan profesi advokat. Hal ini terjadi akibat kurangnya sosialisasi baik secara umum maupun khusus mengenai hukum, untuk itu perlu kita berikan suatu sosialisasi sebagai bentuk pemberian pengetahuan hukum agar masyarakat Indonesia mengerti hukum dan menempatkannya pada porsi-porsi yang seharusnya. Secara garis besar, Notaris merupakan pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Jabatan Notaris atau berdasarkan undang-undang lainnya, hal ini termaktub dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 yang mana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, lebih lanjut dalam Pasal 15 menyebutkan bahwa Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik. Contohnya seperti pembuatan akta perjanjian baik perjanjian secara umum maupun khusus termasuk pembuatan akta-akta perjanjian berkenaan dengan pendirian suatu badan usaha seperti Perseroan Terbatas (PT), Perseroan Komanditer (CV), dan lain sebagainya. Kemudian Notaris berwenang untuk mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus, dalam praktiknya sering disebut dengan Legalisasi, membuat surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus, sering disebut dengan waarmerking, membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan, melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya, memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta, membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, dan membuat akta risalah lelang. 
Sedangkan PPAT adalah Pejabat Umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta autentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, hal ini tertuang dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Peraturan Jabatan PPAT. Yang dimaksud dengan perbuatan hukum tertentu artinya PPAT diberikan batasan kewenangan dalam pembuatan aktanya, Kewenangan PPAT telah ditentukan dengan hanya diperbolehkan membuat delapan akta saja yaitu: Akta Jual Beli, Tukar Menukar, Hibah, pemasukan ke dalam perusahaan (Inbreng), pembagian hak bersama, pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah hak milik, pemberian Hak Tanggungan, dan pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, yang kesemua aktanya hanya diperuntukkan guna pendaftaran peralihan hak pada institusi Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Memang kedua profesi tersebut diberikan oleh Negara untuk dapat saling merangkap jabatan, Namun faktanya masyarakat masih sulit membedakan apa itu Notaris dan apa itu PPAT, seringkali masyarakat datang untuk membuat Sertipikat Hak Atas Tanah kepada Notaris dan PPAT, padahal kewenangan tersebut hanya dimiliki oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam hal ini Kantor Wilayah BPN Provinsi dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Fakta lain yang sering terjadi adalah masyarakat menjadikan segala kewenangan PPAT hanya tertuju pada profesi jabatan Notaris saja, salah satu contoh ketika masyarakat ingin melakukan suatu perbuatan hukum balik nama Sertipikat Hak Atas Tanah maka ia akan mencari Notaris untuk dibuatkan aktanya, padahal kewenangan itu ada pada profesi PPAT. Hal seperti ini biasa sering terjadi pada seseorang yang telah menjadi Notaris namun belum menjadi PPAT, oleh sebab itu salah satu kewenangan Notaris yaitu memberikan penyuluhan hukum kepada masyarakat untuk mengetahui kewenangan-kewenangan jabatan Notaris dan PPAT. Untuk itu perlu suatu persamaan persepsi yang berkembang dimasyarakat agar masyarakat yang majemuk di Indonesia ini memiliki pengetahuan hukum tentang perbedaan antara jabatan Notaris dan PPAT serta kewenangan-kewenangannya.


Tuesday, November 13, 2018

Sejarah LBH


Bantuan hukum atau Legal aid adalah segala bentuk bantuan hukum baik bentuk pemberian nasihat hukum, maupun yang berupa menjadi kuasa dari pada seseorang yang berperkara, yang diberikan kepada orang yang tidak mampu ekonominya, sehingga ia tidak dapat membayar biaya (honorarium) kepada seorang pembela atau pengacara. Berdasarkan pendapat Jaksa Agung Republik Indonesia bahwa bantuan hukum adalah pembelaan yang diperoleh seseorang terdakwa dari seorang penasihat hukum, sewaktu perkaranya diperiksa dalam pemeriksaan pendahuluan atau dalam proses pemeriksaan perkaranya di muka pengadilan. Menurut SEMA No. 10 tahun 2010 tentang Pedoman Umum Bantuan Hukum definisi bantuan hukum adalah pemberian jasa hukum yang di fasilitasi oleh negara melalui Peradilan Agama, baik dalam perkara perdata gugatan dan permohonan maupun perkara jinayat. Bantuan hukum di Indonesia sudah ada sejak tahun 1500-an bersamaan dengan datangnya bangsa Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda. Praktek bantuan hukum terlihat adanya praktek gotong royong dalam kehidupan bermasyarakat di mana dalam masalah-masalah tertentu masyarakat meminta bantuan kepada kepala adat untuk menyelesaikan masalah tertentu. Jika hukum diartikan luas maka bantuan adat adalah juga bantuan hukum.




Berbicara tentang sejarah bantuan hukum di Indonesia tidak lepas dari peranan dua tokoh penting yaitu S. Tasrif, S.H. dan Adnan Buyung Nasution, S.H. S. Tasrif dalam sebuah artikel yang ditulisnya di Harian Pelopor Baru tanggal 16 Juli 1968 menjelaskan bahwa bantuan hukum bagi si miskin merupakan satu aspek cita-cita dari rule of the law. Kemudian untuk mewujudkan idenya tersebut, S. Tasrif mohon kepada Ketua Pengadilan Jakarta untuk diberikan satu ruangan yang dapat digunakan untuk para advokat secara bergiliran untuk memberikan bantuan hukum.
Adnan Buyung Nasution, S.H. dalam Kongres Peradin III tahun 1969 mengajukan ide tentang perlunya pembentukan Lembaga Bantuan Hukum yang dalam Kongres tersebut akhirnya mengesahkan berdirinya Lembaga Bantuan Hukum di Indonesia. Kemudian ditindaklanjuti dengan berdirinya LBH Jakarta yang pada akhirnya diikuti berdirinya LBH-LBH lainnya di seluruh Indonesia. Tidak ketinggalan pula organisasi-organisasi politik, buruh, dan perguruan tinggi juga ikut pula mendirikan LBH-LBH. Dengan adanya LBH-LBH di seluruh Indonesia maka muncul Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang bertujuan untuk mengorganisir dan merupakan naungan bagi LBH-LBH. YLBHI menyusun garis-garis program yang akan dilaksanakan bersama di bawah satu koordinasi sehingga diharapkan kegiatan-kegiatan bantuan hukum dapat dikembangkan secara nasional dan lebih terarah di bawah satu koordinasi. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia didirikan pada tanggal 26 Oktober 1970 atas inisiatif Dr. Adnan Buyung Nasution, S.H yang didukung penuh oleh Ali Sadikin sebagai Gubernur Jakarta saat itu. 


Pendirian Lembaga Bantuan Hukum di Jakarta diikuti dengan pendirian kantor-kantor cabang LBH di daerah seperti Banda Aceh, Medan, Palembang, Padang, Bandar Lampung, Bandung, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Bali, Makassar, Manado, Papua dan Pekanbaru. Persoalan bantuan hukum terkait erat dengan kemiskinan struktural yang terjadi di Indonesia, kemiskinan struktural membuat rakyat tidak mampu untuk mengakses keadilan (bantuan hukum), berpijak dari kondisi tersebut YLBHI LBH hadir untuk memberikan bantuan hukum dan memperjuangkan hak rakyat miskin, buta hukum dan korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Semasa rezim Soeharto (orde baru), peran YLBHI-LBH menjadi salah satu aktor kunci dalam menentang dan menumbangkan rezim Otorianisme orde baru, selain itu YLBHI-LBH menjadi simpul dan lokomotif bagi gerakan pro demokrasi di Indonesia. Kondisi negara yang sampai saat ini masih tetap menciptakan ruang anti demokrasi, anti gerakan, dan sengaja menciptakan politik kekerasan serta membuka ruang bagi militerisme membuat rakyat apatis dan frustasi. Maka dari itu peranan LBH sangat penting bagi pemenuhan hak pembelaan hukum untuk masyarakat yang membutuhkan pembelaan hukum. Pemberian Bantuan Hukum sebagai pendidikan klinis, sebenarnya tidak hanya terbatas pada jurusan-jurusan pidana dan perdata untuk akhirnya tampil di pengadilan, tetapi untuk jurusan lain seperti jurusan hukum tata Negara, hukum administrasi pemerintahan, hukum internasional dan lain-lainnya yang memungkinkan memberikan bantuan hukum di luar pengadilan misalnya memberikan bantuan hukum pada seseorang yang tersangkut dalam soal-soal perumahan di Kantor Urusan Perumahan (KUP); bantuan hukum kepada seseorang dalam urusan kewarganegaraan di imigrasi atau departemen kehakiman; bantuan hukum kepada seseorang yang menyangkut pada urusan internasional di departemen Luar Negeri; bahkan memberi bimbingan dan penyuluhan di bidang hukum termasuk sasaran bantuan hukum dan lain sebagainya.

Sunday, October 28, 2018

Sistem Juri dalam Sistem Peradilan Amerika Serikat

Sistem Peradilan Indonesia dapat diartikan sebagai “suatu susunan yang teratur dan saling berhubungan, yang berkaitan dengan kegiatan pemeriksaan dan pemutusan perkara yang dilakukan oleh pengadilan, baik itu pengadilan yang berada di lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, maupun peradilan tata usaha negara, yang didasari oleh pandanganm, teori, dan asas-asas di bidang peradilan yang berlaku di Indonesia”. Oleh karena itu dapat diketahui bahwa Peradilan yang diselenggarakan di Indonesia merupakan suatu sistem yang ada hubungannya satu sama lain, peradilan/pengadilan yang lain tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling berhubungan dan berpuncak pada Mahkamah Agung. Bukti adanya hubungan antara satu lembaga pengadilan dengan lembaga pengadilan yang lainnya salah satu diantaranya adalah adanya “Perkara Koneksitas”. Hal tersebut terdapat dalam Pasal 24 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sistem Peradilan Indonesia dapat diketahui dari ketentuan Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 10 Ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pada dasarnya sistem hukum nasional Indonesia terbentuk atau dipengaruhi oleh 3 sub-sistem hukum, yaitu :
  • Sistem Hukum Barat, yang merupakan warisan para penjajah kolonial Belanda, yang mempunyai sifat individualistik. Peninggalan produk Belanda sampai saat ini masih banyak yang berlaku, seperti KUHP, KUHPerdata, dsb. 
  • Sistem Hukum Adat, yang bersifat komunal. Adat merupakan cermin kepribadiansuatu bangsa dan penjelmaan jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad.
  • Sistem Hukum Islam, sifatnya religius. Menurut seharahnya sebelum penjajah Belanda datang ke Indonesia, Islam telah diterima oleh Bangsa Indonesia.

Sedangkan perbedaannya di Amerika Serikat, adalah bahwa setiap orang yang dituduh melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara selama lebih dari enam bulan memiliki hak konstitusional untuk mendapatkan pengadilan oleh juri. Juri di beberapa negara bagian dipilih melalui pendaftaran. Sebuah formulir dikirim ke juri calon untuk melakukan pra-kualifikasi dengan meminta calon untuk menjawab pertanyaan tentang kewarganegaraan, kemampuan penyandang cacat, pemahaman bahasa Inggris, dan apakah mereka memiliki kondisi atau alasan untuk mereka menjadi anggota juri. Jika mereka dianggap memenuhi syarat, panggilan akan dikeluarkan. Di Amerika Serikat, dapat dipahami bahwa Juri biasanya mempertimbangkan bukti dan kesaksian untuk menentukan pertanyaan-pertanyaan tentang fakta, sedangkan hakim biasanya aturan pada pertanyaan-pertanyaan hukum.Ada banyak perdebatan tentang keuntungan dan kerugian dari sistem juri, kompetensi atau ketiadaan dari juri sebagai fakta-finders, dan keseragaman atau ketidakteraturan keadilan yang mereka kelola. Sebagai fakta-penemu, juri diharapkan memenuhi peran sebagai pendetektor kebohongan. Mengikuti tradisi Inggris, juri AS biasanya terdiri dari 12 juri, dan putusan juri diharapkanuntuk mencapai mufakat. Namun, di banyak yurisdiksi, jumlah juri seringkali direduksi menjadi jumlah yang lebih kecil (seperti lima atau enam) berdasarkan ketentuan legislatif. Beberapa yurisdiksi juga mengizinkan vonis harus diputuskan meskipun terdapat perbedaan pendapat satu, dua, atau tiga juri.

Selama persidangan, pengacara menentang sisi pertanyaan saksi yang dipanggil untuk memberikan bukti. Para pengacara juga membuat pembukaan dan penutupan pernyataan kepada juri.Pada akhirnya, hakim membuat pernyataan akhir kepada juri. Menurut hukum Amerika, seseorang dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah. Juri tidak harus benar-benar yakin bahwa orang tersebut tidak bersalah. Mereka hanya perlu memiliki pertanyaan yang wajar dalam pikiran mereka. Kecuali mereka yakin bahwa orang tersebut bersalah seperti yang dituduhkan, mereka harus menemukan tersangka tidak bersalah.Juri bertemu secara pribadi untuk mencapai penghakiman. Kebanyakan negara bagian mewajibkan semua anggota juri dalam kasus kriminal untuk menyepakati putusan tersebut. Secara umum proses persidangan dalam Sistem Peradilan Pidana di Amerika Serikat ini terdiri dari beberapa pihak, yakni Hakim, Penuntut Umum, Pengacara, Terdakwa, Korban, Saksi, dan Juri. Sistem Juri mempunyai kelebihan dibanding dengan sistem peradilan pidana yang dilaksanakan di Indonesia, di mana sistem ini lebih mengutamakan pada masyarakat sebagai unsur sosial yang berdaulat, serta membatasi kekuasaan pemerintahan yang dijalankan oleh Hakim dan Penuntut Umum. Adagium yang sudah dianut Amerika Serikat selama bertahun-tahun adalah "lebih baik membebaskan 10 orang yang bersalah daripada menahan 1 orang yang tidak bersalah." Kedua dasar inilah yang menjadi landasan Amerika Serikat menganut Sistem Juri.


Tuesday, October 23, 2018

Israel dan hukum internasional


Hukum adalah seperangkat aturan yang bertujuan untuk mengatur tingkah laku manusia. Karena itu, ia bersifat memaksa dengan ancaman sanksi dan/atau pidana. Bertahun-tahun. Hukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas berskala internasional. Pada awalnya, Hukum Internasional hanya diartikan sebagai perilaku dan hubungan antarnegara namun dalam perkembangan pola hubungan internasional yang semakin kompleks pengertian ini kemudian meluas sehingga hukum internasional juga mengurusi struktur dan perilaku organisasi internasional dan pada batas tertentu, perusahaan multinasional dan individu. Hukum Internasional tidak memiliki perangkat yang sempurna seperti kekuasaan yang berdaulat hingga bisa memberikan sifat memaksa, namun dunia mematuhi hukum internasional sebagai bentuk bangsa yang beradab. Kini, kedaulatan Hukum Internasional kembali diuji. Seperti kita ketahui, Donald Trump secara sepihak mengumumkan akan memindahkan kedutaan besar Amerika dari Tel Aviv ke Jerusalem. Pernyataan Trump itu menunjukkan pengakuan Amerika Serikat bahwa Jerusalem adalah milik Israel. Janji Donald Trump pada saat kampanye dulu, antara lain, adalah mendukung Israel menguasai Jerusalem. Dan janji itu kini dipenuhi. Dunia pun marah. Demonstrasi merebak dimana-mana. Deklarasi Istanbul menyatakan, antara lain, menolak keputusan Donald Trump, mendesak negara-negara lain, terutama Eropa untuk tidak mengikuti langkah Amerika, dan menyatakan Jerusalem adalah ibukota Palestina. Deklarasi Istanbul diperkuat oleh pernyataan Raja Salman bin Abdul Aziz, yang meskipun tak hadir di KTT OKI namun menyatakan Jerusalem adalah ibukota Palestina. Menarik, pernyataan raja Salman disampaikan hampir berbarengan dengan Deklarasi Istanbul.

Dalam hukum internasional, pengakuan dibagi dua: Konstitutif dan Deklaratif. Teori konstitutif mengatakan, pengakuan adalah ipso facto dari berdirinya sebuah negara. Pada kasus Israel ini, ketika Amerika membangun kedutaannya di Tel Aviv, maka negeri itu menjalankan teori Konstitutif untuk menerima Israel sebagai sebuah negara. Dengan kata lain, Amerika menerima Israel sebagai negara sebab faktanya Israel menguasai tanah rakyat Palestina, secara deklaratif Donald Trump mengakui kedaulatan Israel atas Jerusalem sebab Amerika memindahkan kedutaannya dari Tel Aviv ke Jerusalem. Sejak lama, Israel menjadikan Jerusalem sebagai ibukotanya. Padahal, Jerusalem adalah tanah Palestina yang mereka rebut. Sebagai patron politik Timur Tengah, Amerika memiliki pengaruh yang luar biasa, terutama pada Saudi Arabia. Sejak lama Saudi Arabia menjalin kerjasama yang mesra dengan Amerika. Maka, sejak Donald Trump berkunjung ke negeri itu, sikap politik raja Salman bin Abdul Aziz terlihat semakin lunak. Jika Donald Trump tak mengubah keputusannya, maka kita akan menyaksikan sebuah pelanggaran di siang bolong. Donald Trump telah menginjak-injak berbagai Resolusi PBB atas kasus Palestina, sedikitnya ada 19 resolusi PBB atas sengketa Palestina – Israel ini. Dia juga telah membuktikan teori bahwa Hukum Internasional bukanlah sebuah hukum par-excellence, namun ia merupakan etika yang sangat bergantung pada siapa yang berkuasa. Tindakan Presiden Trump mengumumkan pengakuan AS atas Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel melanggar hukum internasional dan membahayakan proses perdamaian di Timur Tengah. Dewan Keamanan PBB dalam beberapa dekade terakhir sudah mengeluarkan berbagai resolusi yang menegaskan bahwa pendudukan Israel atas sebagian wilayah Yerusalem ilegal. Sebuah Resolusi DK PBB itu final dan mengikat bagi seluruh negara anggota PBB termasuk Amerika Serikat. DK PBB pernah mengeluarkan Resolusi 242 tahun 1967 yang memerintahkan Israel untuk mengembalikan wilayah-wilayah yang direbutnya melalui perang termasuk Yerusalem. Lalu ada Resolusi 476 DK PBB tahun 1980 dimana PBB tidak mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel dan memerintahkan seluruh negara anggota PBB untuk memindahkan kedutaan besarnya dari kota Yerusalem. Buntutnya tidak ada satu negara pun hari ini yang memiliki kedutaan besar di Yerusalem. Pertanyaanya adalah bagaimanakah langkah Indonesia dalam hal ini?

Tuesday, October 2, 2018

Praperadilan

Praperadilan adalah proses sebelum peradilan, praperadilan terdiri dari dua suku kata yaitu kata pra dan kata peradilan. kata pra dalam ilmu bahasa dikenal dengan pemahaman sebelum, sedangkan peradilan adalah proses persidangan untuk mencari keadilan. Pengertian Praperadilan adalah proses persidangan sebelum sidang masalah pokok perkaranya disidangkan. Pengertian perkara pokok ialah perkara materinya, sedangkan dalam praperadilan proses persidangan hanya menguji proses tata cara penyidikan dan penuntutan, bukan kepada materi pokok saja. Dalam praperadilan, yang disidangkan atau dalam istilah hukumnya yang diuji adalah masalah tata cara penyidikannya. Contohnya : ketika menangkap tersangka korupsi, apakah yang ditangkap itu betul-betul pelaku korupsi sebagaimana dimaksud dalam laporannya. Selanjutnya, dalam penahanan atau apakah penahanan itu tidak melanggar hukum karena telah lewat waktu penahanannya, apakah keluarga tersangka juga sudah dikirimi pemberitahuan mengenai tindakan penangkapan dan tindakan penahanan. Dalam pelaksanaan persidangan praperadilan diatur dalam pasal 77 UU No. 8 Tahun 1981 mengenai KUH pidana yang memberikan pengertian praperadilan yang berbunyi sebagai berikut.

Pengadilan negeri berwenang untuk memerikasa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU ini, mengenai :

(1) Sah atau tidaknya penangkappan, penahanan, penghentian, penyidikan atau penghentian penuntutan.

(2) Ganti kerugian atau rehabilitasi terhadap seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Jadi, menurut ketentuan di atas bahwa media praperadilan adalah media untuk menguji mengenai sah tidaknya tindakan aparatur negara bidang penegakan hukum terutama penyidik Polri dan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) apabila melakukan tindakan hukum yang berupa penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan. Yang perlu diperhatikan dalam gugatan praperadilan ini adalah tentang sah tidaknya tindakan di atas di lakukan. Pengertian sah tidaknya itu berkaitan dengan apakah tindakan yang dilakukan itu resmi apa tidak, jika resmi harus dilengkapi dengan dokumen-dokumen yang berupa surat tugas yang jelas menyangkut tugas penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau apakah petugas-petugas yang melakukan tugas sebagaimana tersebut di atas itu telah dilengkapi dengan surat perintah untuk melakukan tindakan-tindakan hukum. Dalam kenyataannya permasalahan praperadilan telah berkembang bukan hanya semata-mata masalah penangkapan, penahanan dan penghentian saja, melainkan masalah tembusan penangkapan dan penahanan juga ikut mewarnai adanya gugatan praperadilan. Dalam dunia praperadilan yang selama ini berlaku, yang sering terlibat dalam praperadilan atau yang menjadi termohon atau tergugat dalam praperadilan adalah institusi kepolisian negara republik Indonesia dan institusi kejaksaan republik Indonesia.
Praperadilan adalah media persidangan untuk menguji apakah peraturan perundang-undangan itu telah dipatuhi atau tidak dipatuhi oleh penyidik polri, termasuk penyidik pegawai negeri sipil, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dalam proses penegakan hukum pidana pada kenyataannya sering terjadi orang ditangkap dan ditahan tanpa adanya surat perintah penangkapan atau penahanan, bahkan proses penangkapannya sering pula dilakukan tanpa mengindahkan hak-hak asasi manusia, atau melanggar pasal 18 ayat 1 UU No.39 tahun 1999 tentang HAM, terkait asas praduga tak bersalah, yang berbunyi : ”Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan suatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan” dan berdasarkan pasal 4 UU yang sama, setiap orang memiliki ”hak untuk tidak disiksa” dalam penegakan hukum. Dan dalam pasal 9 ayat (2) UU No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pejabat yang melanggar ketentuan tersebut di atas bukan lagi dapat dipidana akan tetapi ”dipidana”. Seperti yang kita ketahui Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutuskan tentang : a) Sah tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan ; b) Sah tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan ; dan c) Permintaan ganti-rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan ;Hal mana tentang Praperadilan tersebut secara limitatif diatur dalam pasal 77 sampai pasal 83 Undang-undang No.8 tahun 1981 tentang KUHAP.
Sejauh ini di dalam praktiknya hak tentang Praperadilan tersebut hanya dilakukan oleh tersangka atau keluarga tersangka melalui kuasa hukumnya dengan cara melakukan Gugatan Praperadilan terhadap pihak Kepolisian atau terhadap pihak Kejaksaan ke Pengadilan Negeri setempat yang substansi gugatannya mempersoalkan tentang sah tidaknya penangkapan atau penahanan atau tentang sah tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan. Kita tidak pernah mendengar bahwa Kepolisian mempraperadilankan Kejaksaan tentang sah tidaknya Penghentian Penuntutan terhadap tersangka/terdakwa, atau sebaliknya pihak Kejaksaan mempraperadilankan pihak Kepolisian tentang sah tidaknya Penghentian Penyidikan. Perlu untuk diketahui oleh masyarakat pada umumnya dan Penegak Hukum pada khususnya bahwa pasal 77 s/d pasal 83 KUHAP yang mengatur tentang Praperadilan tidak hanya memberikan hak kepada tersangka atau keluarganya untuk mempraperadilankan Kepolisian dan Kejaksaan, namun pasal tersebut juga memberi hak kepada Kepolisian untuk mempraperadilankan Kejaksaan begitu juga sebaliknya pasal tersebut juga memberi hak kepada Kejaksaan untuk mempraperadilankan Kepolisian.
Namun dalam praktiknya hal semacam itu sangat sulit terjadi karena masing-masing pihak berusaha saling menjaga hubungan baik atas dasar pertimbangan rasa segan sesama aparat dan/atau adanya rasa saling membutuhkan dalam system kerja dan/atau adanya rasa “saling pengertian”. Dan kondisi semacam ini jika dibiarkan terus tanpa ada upaya untuk memperbaiki agar sesama penegak hukum tercipta budaya saling kontrol, maka iklim semacam ini pada gilirannya akan menganggu upaya penegakan supremasi hukum di negara Indonesia kita ini. Dalam negara hukum yang berusaha menegakkan supremasi hukum sangat diperlukan suatu lembaga kontrol yang independen yang salah satu tugasnya mengamati/mencermati terhadap sah tidaknya suatu penangkapan, penahanan atau sah tidaknya penghentian penyidikan suatu perkara pidana atau sah tidaknya alasan penghentian penuntutan suatu perkara pidana baik itu dilakukan secara resmi dengan mengeluarkan SP3, apalagi yang dilakukan secara diam-diam.
Di samping itu diharapkan juga pihak Kepolisian dapat mengontrol kinerja Kejaksaan apakah perkara yang sudah dilimpahkan benar-benar diteruskan ke Pengadilan. Begitu juga pihak Kejaksaan diharapkan dapat mengontrol kinerja Kepolisian di dalam proses penanganan perkara pidana apakah perkara yang sudah di SPDP (P.16) ke Kejaksaan yang dinilai telah cukup bukti pada waktunya benar-benar dilimpahkan oleh Penyidik ke Kejaksaan atau berhenti secara diam-diam. Di dalam era supremasi hukum ini Kepolisian harus berani mempraperadilankan pihak Kejaksaan jika suatu perkara yang telah dinyatakan cukup bukti (P.21) atau tahap 2, ternyata perkara tersebut tidak jadi dilimpahkan ke Pengadilan. Begitu juga sebaliknya. dan berbicara upaya prapradilan kayaknya ini hanya dapat diandalkan kepada pihak Advokat/Pengacara, sebagai penegak hukum yang independen. Yang jelas Praperadilan bukan hanya hak dari tersangka atau keluarga tersangka, tapi juga merupakan hak dari Kepolisian dan Kejaksaan.