Praperadilan adalah proses sebelum peradilan, praperadilan terdiri dari dua suku kata yaitu kata pra dan kata peradilan. kata pra dalam ilmu bahasa dikenal dengan pemahaman sebelum, sedangkan peradilan adalah proses persidangan untuk mencari keadilan. Pengertian Praperadilan adalah proses persidangan sebelum sidang masalah pokok perkaranya disidangkan. Pengertian perkara pokok ialah perkara materinya, sedangkan dalam praperadilan proses persidangan hanya menguji proses tata cara penyidikan dan penuntutan, bukan kepada materi pokok saja. Dalam praperadilan, yang disidangkan atau dalam istilah hukumnya yang diuji adalah masalah tata cara penyidikannya. Contohnya : ketika menangkap tersangka korupsi, apakah yang ditangkap itu betul-betul pelaku korupsi sebagaimana dimaksud dalam laporannya. Selanjutnya, dalam penahanan atau apakah penahanan itu tidak melanggar hukum karena telah lewat waktu penahanannya, apakah keluarga tersangka juga sudah dikirimi pemberitahuan mengenai tindakan penangkapan dan tindakan penahanan. Dalam pelaksanaan persidangan praperadilan diatur dalam pasal 77 UU No. 8 Tahun 1981 mengenai KUH pidana yang memberikan pengertian praperadilan yang berbunyi sebagai berikut.
Pengadilan negeri berwenang untuk memerikasa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU ini, mengenai :
(1) Sah atau tidaknya penangkappan, penahanan, penghentian, penyidikan atau penghentian penuntutan.
(2) Ganti kerugian atau rehabilitasi terhadap seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Jadi, menurut ketentuan di atas bahwa media praperadilan adalah media untuk menguji mengenai sah tidaknya tindakan aparatur negara bidang penegakan hukum terutama penyidik Polri dan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) apabila melakukan tindakan hukum yang berupa penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan. Yang perlu diperhatikan dalam gugatan praperadilan ini adalah tentang sah tidaknya tindakan di atas di lakukan. Pengertian sah tidaknya itu berkaitan dengan apakah tindakan yang dilakukan itu resmi apa tidak, jika resmi harus dilengkapi dengan dokumen-dokumen yang berupa surat tugas yang jelas menyangkut tugas penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau apakah petugas-petugas yang melakukan tugas sebagaimana tersebut di atas itu telah dilengkapi dengan surat perintah untuk melakukan tindakan-tindakan hukum. Dalam kenyataannya permasalahan praperadilan telah berkembang bukan hanya semata-mata masalah penangkapan, penahanan dan penghentian saja, melainkan masalah tembusan penangkapan dan penahanan juga ikut mewarnai adanya gugatan praperadilan. Dalam dunia praperadilan yang selama ini berlaku, yang sering terlibat dalam praperadilan atau yang menjadi termohon atau tergugat dalam praperadilan adalah institusi kepolisian negara republik Indonesia dan institusi kejaksaan republik Indonesia.
Praperadilan adalah media persidangan untuk menguji apakah peraturan perundang-undangan itu telah dipatuhi atau tidak dipatuhi oleh penyidik polri, termasuk penyidik pegawai negeri sipil, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dalam proses penegakan hukum pidana pada kenyataannya sering terjadi orang ditangkap dan ditahan tanpa adanya surat perintah penangkapan atau penahanan, bahkan proses penangkapannya sering pula dilakukan tanpa mengindahkan hak-hak asasi manusia, atau melanggar pasal 18 ayat 1 UU No.39 tahun 1999 tentang HAM, terkait asas praduga tak bersalah, yang berbunyi : ”Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan suatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan” dan berdasarkan pasal 4 UU yang sama, setiap orang memiliki ”hak untuk tidak disiksa” dalam penegakan hukum. Dan dalam pasal 9 ayat (2) UU No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pejabat yang melanggar ketentuan tersebut di atas bukan lagi dapat dipidana akan tetapi ”dipidana”. Seperti yang kita ketahui Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutuskan tentang : a) Sah tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan ; b) Sah tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan ; dan c) Permintaan ganti-rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan ;Hal mana tentang Praperadilan tersebut secara limitatif diatur dalam pasal 77 sampai pasal 83 Undang-undang No.8 tahun 1981 tentang KUHAP.
Sejauh ini di dalam praktiknya hak tentang Praperadilan tersebut hanya dilakukan oleh tersangka atau keluarga tersangka melalui kuasa hukumnya dengan cara melakukan Gugatan Praperadilan terhadap pihak Kepolisian atau terhadap pihak Kejaksaan ke Pengadilan Negeri setempat yang substansi gugatannya mempersoalkan tentang sah tidaknya penangkapan atau penahanan atau tentang sah tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan. Kita tidak pernah mendengar bahwa Kepolisian mempraperadilankan Kejaksaan tentang sah tidaknya Penghentian Penuntutan terhadap tersangka/terdakwa, atau sebaliknya pihak Kejaksaan mempraperadilankan pihak Kepolisian tentang sah tidaknya Penghentian Penyidikan. Perlu untuk diketahui oleh masyarakat pada umumnya dan Penegak Hukum pada khususnya bahwa pasal 77 s/d pasal 83 KUHAP yang mengatur tentang Praperadilan tidak hanya memberikan hak kepada tersangka atau keluarganya untuk mempraperadilankan Kepolisian dan Kejaksaan, namun pasal tersebut juga memberi hak kepada Kepolisian untuk mempraperadilankan Kejaksaan begitu juga sebaliknya pasal tersebut juga memberi hak kepada Kejaksaan untuk mempraperadilankan Kepolisian.
Namun dalam praktiknya hal semacam itu sangat sulit terjadi karena masing-masing pihak berusaha saling menjaga hubungan baik atas dasar pertimbangan rasa segan sesama aparat dan/atau adanya rasa saling membutuhkan dalam system kerja dan/atau adanya rasa “saling pengertian”. Dan kondisi semacam ini jika dibiarkan terus tanpa ada upaya untuk memperbaiki agar sesama penegak hukum tercipta budaya saling kontrol, maka iklim semacam ini pada gilirannya akan menganggu upaya penegakan supremasi hukum di negara Indonesia kita ini. Dalam negara hukum yang berusaha menegakkan supremasi hukum sangat diperlukan suatu lembaga kontrol yang independen yang salah satu tugasnya mengamati/mencermati terhadap sah tidaknya suatu penangkapan, penahanan atau sah tidaknya penghentian penyidikan suatu perkara pidana atau sah tidaknya alasan penghentian penuntutan suatu perkara pidana baik itu dilakukan secara resmi dengan mengeluarkan SP3, apalagi yang dilakukan secara diam-diam.
Di samping itu diharapkan juga pihak Kepolisian dapat mengontrol kinerja Kejaksaan apakah perkara yang sudah dilimpahkan benar-benar diteruskan ke Pengadilan. Begitu juga pihak Kejaksaan diharapkan dapat mengontrol kinerja Kepolisian di dalam proses penanganan perkara pidana apakah perkara yang sudah di SPDP (P.16) ke Kejaksaan yang dinilai telah cukup bukti pada waktunya benar-benar dilimpahkan oleh Penyidik ke Kejaksaan atau berhenti secara diam-diam. Di dalam era supremasi hukum ini Kepolisian harus berani mempraperadilankan pihak Kejaksaan jika suatu perkara yang telah dinyatakan cukup bukti (P.21) atau tahap 2, ternyata perkara tersebut tidak jadi dilimpahkan ke Pengadilan. Begitu juga sebaliknya. dan berbicara upaya prapradilan kayaknya ini hanya dapat diandalkan kepada pihak Advokat/Pengacara, sebagai penegak hukum yang independen. Yang jelas Praperadilan bukan hanya hak dari tersangka atau keluarga tersangka, tapi juga merupakan hak dari Kepolisian dan Kejaksaan.
No comments:
Post a Comment