Tuesday, October 23, 2018

Israel dan hukum internasional


Hukum adalah seperangkat aturan yang bertujuan untuk mengatur tingkah laku manusia. Karena itu, ia bersifat memaksa dengan ancaman sanksi dan/atau pidana. Bertahun-tahun. Hukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas berskala internasional. Pada awalnya, Hukum Internasional hanya diartikan sebagai perilaku dan hubungan antarnegara namun dalam perkembangan pola hubungan internasional yang semakin kompleks pengertian ini kemudian meluas sehingga hukum internasional juga mengurusi struktur dan perilaku organisasi internasional dan pada batas tertentu, perusahaan multinasional dan individu. Hukum Internasional tidak memiliki perangkat yang sempurna seperti kekuasaan yang berdaulat hingga bisa memberikan sifat memaksa, namun dunia mematuhi hukum internasional sebagai bentuk bangsa yang beradab. Kini, kedaulatan Hukum Internasional kembali diuji. Seperti kita ketahui, Donald Trump secara sepihak mengumumkan akan memindahkan kedutaan besar Amerika dari Tel Aviv ke Jerusalem. Pernyataan Trump itu menunjukkan pengakuan Amerika Serikat bahwa Jerusalem adalah milik Israel. Janji Donald Trump pada saat kampanye dulu, antara lain, adalah mendukung Israel menguasai Jerusalem. Dan janji itu kini dipenuhi. Dunia pun marah. Demonstrasi merebak dimana-mana. Deklarasi Istanbul menyatakan, antara lain, menolak keputusan Donald Trump, mendesak negara-negara lain, terutama Eropa untuk tidak mengikuti langkah Amerika, dan menyatakan Jerusalem adalah ibukota Palestina. Deklarasi Istanbul diperkuat oleh pernyataan Raja Salman bin Abdul Aziz, yang meskipun tak hadir di KTT OKI namun menyatakan Jerusalem adalah ibukota Palestina. Menarik, pernyataan raja Salman disampaikan hampir berbarengan dengan Deklarasi Istanbul.

Dalam hukum internasional, pengakuan dibagi dua: Konstitutif dan Deklaratif. Teori konstitutif mengatakan, pengakuan adalah ipso facto dari berdirinya sebuah negara. Pada kasus Israel ini, ketika Amerika membangun kedutaannya di Tel Aviv, maka negeri itu menjalankan teori Konstitutif untuk menerima Israel sebagai sebuah negara. Dengan kata lain, Amerika menerima Israel sebagai negara sebab faktanya Israel menguasai tanah rakyat Palestina, secara deklaratif Donald Trump mengakui kedaulatan Israel atas Jerusalem sebab Amerika memindahkan kedutaannya dari Tel Aviv ke Jerusalem. Sejak lama, Israel menjadikan Jerusalem sebagai ibukotanya. Padahal, Jerusalem adalah tanah Palestina yang mereka rebut. Sebagai patron politik Timur Tengah, Amerika memiliki pengaruh yang luar biasa, terutama pada Saudi Arabia. Sejak lama Saudi Arabia menjalin kerjasama yang mesra dengan Amerika. Maka, sejak Donald Trump berkunjung ke negeri itu, sikap politik raja Salman bin Abdul Aziz terlihat semakin lunak. Jika Donald Trump tak mengubah keputusannya, maka kita akan menyaksikan sebuah pelanggaran di siang bolong. Donald Trump telah menginjak-injak berbagai Resolusi PBB atas kasus Palestina, sedikitnya ada 19 resolusi PBB atas sengketa Palestina – Israel ini. Dia juga telah membuktikan teori bahwa Hukum Internasional bukanlah sebuah hukum par-excellence, namun ia merupakan etika yang sangat bergantung pada siapa yang berkuasa. Tindakan Presiden Trump mengumumkan pengakuan AS atas Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel melanggar hukum internasional dan membahayakan proses perdamaian di Timur Tengah. Dewan Keamanan PBB dalam beberapa dekade terakhir sudah mengeluarkan berbagai resolusi yang menegaskan bahwa pendudukan Israel atas sebagian wilayah Yerusalem ilegal. Sebuah Resolusi DK PBB itu final dan mengikat bagi seluruh negara anggota PBB termasuk Amerika Serikat. DK PBB pernah mengeluarkan Resolusi 242 tahun 1967 yang memerintahkan Israel untuk mengembalikan wilayah-wilayah yang direbutnya melalui perang termasuk Yerusalem. Lalu ada Resolusi 476 DK PBB tahun 1980 dimana PBB tidak mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel dan memerintahkan seluruh negara anggota PBB untuk memindahkan kedutaan besarnya dari kota Yerusalem. Buntutnya tidak ada satu negara pun hari ini yang memiliki kedutaan besar di Yerusalem. Pertanyaanya adalah bagaimanakah langkah Indonesia dalam hal ini?

No comments:

Post a Comment