Hukum adalah seperangkat aturan yang bertujuan untuk
mengatur tingkah laku manusia. Karena itu, ia bersifat memaksa dengan ancaman
sanksi dan/atau pidana. Bertahun-tahun. Hukum internasional adalah bagian hukum
yang mengatur aktivitas entitas berskala internasional. Pada awalnya, Hukum
Internasional hanya diartikan sebagai perilaku dan hubungan antarnegara namun
dalam perkembangan pola hubungan internasional yang semakin kompleks pengertian
ini kemudian meluas sehingga hukum internasional juga mengurusi struktur dan
perilaku organisasi internasional dan pada batas tertentu, perusahaan
multinasional dan individu. Hukum Internasional tidak memiliki perangkat yang
sempurna seperti kekuasaan yang berdaulat hingga bisa memberikan sifat memaksa,
namun dunia mematuhi hukum internasional sebagai bentuk bangsa yang beradab.
Kini, kedaulatan Hukum Internasional kembali diuji. Seperti kita ketahui,
Donald Trump secara sepihak mengumumkan akan memindahkan kedutaan besar Amerika
dari Tel Aviv ke Jerusalem. Pernyataan Trump itu menunjukkan pengakuan Amerika
Serikat bahwa Jerusalem adalah milik Israel. Janji Donald Trump pada saat
kampanye dulu, antara lain, adalah mendukung Israel menguasai Jerusalem. Dan
janji itu kini dipenuhi. Dunia pun marah. Demonstrasi merebak dimana-mana.
Deklarasi Istanbul menyatakan, antara lain, menolak keputusan Donald Trump,
mendesak negara-negara lain, terutama Eropa untuk tidak mengikuti langkah
Amerika, dan menyatakan Jerusalem adalah ibukota Palestina. Deklarasi Istanbul
diperkuat oleh pernyataan Raja Salman bin Abdul Aziz, yang meskipun tak hadir
di KTT OKI namun menyatakan Jerusalem adalah ibukota Palestina. Menarik,
pernyataan raja Salman disampaikan hampir berbarengan dengan Deklarasi
Istanbul.
Dalam hukum internasional, pengakuan dibagi dua:
Konstitutif dan Deklaratif. Teori konstitutif mengatakan, pengakuan adalah ipso
facto dari berdirinya sebuah negara. Pada kasus Israel ini, ketika Amerika
membangun kedutaannya di Tel Aviv, maka negeri itu menjalankan teori
Konstitutif untuk menerima Israel sebagai sebuah negara. Dengan kata lain,
Amerika menerima Israel sebagai negara sebab faktanya Israel menguasai tanah
rakyat Palestina, secara deklaratif Donald Trump mengakui kedaulatan Israel
atas Jerusalem sebab Amerika memindahkan kedutaannya dari Tel Aviv ke
Jerusalem. Sejak lama, Israel menjadikan Jerusalem sebagai ibukotanya. Padahal,
Jerusalem adalah tanah Palestina yang mereka rebut. Sebagai patron politik
Timur Tengah, Amerika memiliki pengaruh yang luar biasa, terutama pada Saudi
Arabia. Sejak lama Saudi Arabia menjalin kerjasama yang mesra dengan Amerika.
Maka, sejak Donald Trump berkunjung ke negeri itu, sikap politik raja Salman
bin Abdul Aziz terlihat semakin lunak. Jika Donald Trump tak mengubah
keputusannya, maka kita akan menyaksikan sebuah pelanggaran di siang bolong.
Donald Trump telah menginjak-injak berbagai Resolusi PBB atas kasus Palestina, sedikitnya
ada 19 resolusi PBB atas sengketa Palestina – Israel ini. Dia juga telah
membuktikan teori bahwa Hukum Internasional bukanlah sebuah hukum
par-excellence, namun ia merupakan etika yang sangat bergantung pada siapa yang
berkuasa. Tindakan Presiden Trump mengumumkan pengakuan AS atas Yerusalem
sebagai Ibu Kota Israel melanggar hukum internasional dan membahayakan proses
perdamaian di Timur Tengah. Dewan Keamanan PBB dalam beberapa dekade terakhir
sudah mengeluarkan berbagai resolusi yang menegaskan bahwa pendudukan Israel
atas sebagian wilayah Yerusalem ilegal. Sebuah Resolusi DK PBB itu final dan
mengikat bagi seluruh negara anggota PBB termasuk Amerika Serikat. DK PBB
pernah mengeluarkan Resolusi 242 tahun 1967 yang memerintahkan Israel untuk
mengembalikan wilayah-wilayah yang direbutnya melalui perang termasuk
Yerusalem. Lalu ada Resolusi 476 DK PBB tahun 1980 dimana PBB tidak mengakui
Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel dan memerintahkan seluruh negara anggota PBB
untuk memindahkan kedutaan besarnya dari kota Yerusalem. Buntutnya tidak ada
satu negara pun hari ini yang memiliki kedutaan besar di Yerusalem. Pertanyaanya adalah bagaimanakah langkah Indonesia dalam hal ini?
No comments:
Post a Comment