Sunday, October 28, 2018

Sistem Juri dalam Sistem Peradilan Amerika Serikat

Sistem Peradilan Indonesia dapat diartikan sebagai “suatu susunan yang teratur dan saling berhubungan, yang berkaitan dengan kegiatan pemeriksaan dan pemutusan perkara yang dilakukan oleh pengadilan, baik itu pengadilan yang berada di lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, maupun peradilan tata usaha negara, yang didasari oleh pandanganm, teori, dan asas-asas di bidang peradilan yang berlaku di Indonesia”. Oleh karena itu dapat diketahui bahwa Peradilan yang diselenggarakan di Indonesia merupakan suatu sistem yang ada hubungannya satu sama lain, peradilan/pengadilan yang lain tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling berhubungan dan berpuncak pada Mahkamah Agung. Bukti adanya hubungan antara satu lembaga pengadilan dengan lembaga pengadilan yang lainnya salah satu diantaranya adalah adanya “Perkara Koneksitas”. Hal tersebut terdapat dalam Pasal 24 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sistem Peradilan Indonesia dapat diketahui dari ketentuan Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 10 Ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pada dasarnya sistem hukum nasional Indonesia terbentuk atau dipengaruhi oleh 3 sub-sistem hukum, yaitu :
  • Sistem Hukum Barat, yang merupakan warisan para penjajah kolonial Belanda, yang mempunyai sifat individualistik. Peninggalan produk Belanda sampai saat ini masih banyak yang berlaku, seperti KUHP, KUHPerdata, dsb. 
  • Sistem Hukum Adat, yang bersifat komunal. Adat merupakan cermin kepribadiansuatu bangsa dan penjelmaan jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad.
  • Sistem Hukum Islam, sifatnya religius. Menurut seharahnya sebelum penjajah Belanda datang ke Indonesia, Islam telah diterima oleh Bangsa Indonesia.

Sedangkan perbedaannya di Amerika Serikat, adalah bahwa setiap orang yang dituduh melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara selama lebih dari enam bulan memiliki hak konstitusional untuk mendapatkan pengadilan oleh juri. Juri di beberapa negara bagian dipilih melalui pendaftaran. Sebuah formulir dikirim ke juri calon untuk melakukan pra-kualifikasi dengan meminta calon untuk menjawab pertanyaan tentang kewarganegaraan, kemampuan penyandang cacat, pemahaman bahasa Inggris, dan apakah mereka memiliki kondisi atau alasan untuk mereka menjadi anggota juri. Jika mereka dianggap memenuhi syarat, panggilan akan dikeluarkan. Di Amerika Serikat, dapat dipahami bahwa Juri biasanya mempertimbangkan bukti dan kesaksian untuk menentukan pertanyaan-pertanyaan tentang fakta, sedangkan hakim biasanya aturan pada pertanyaan-pertanyaan hukum.Ada banyak perdebatan tentang keuntungan dan kerugian dari sistem juri, kompetensi atau ketiadaan dari juri sebagai fakta-finders, dan keseragaman atau ketidakteraturan keadilan yang mereka kelola. Sebagai fakta-penemu, juri diharapkan memenuhi peran sebagai pendetektor kebohongan. Mengikuti tradisi Inggris, juri AS biasanya terdiri dari 12 juri, dan putusan juri diharapkanuntuk mencapai mufakat. Namun, di banyak yurisdiksi, jumlah juri seringkali direduksi menjadi jumlah yang lebih kecil (seperti lima atau enam) berdasarkan ketentuan legislatif. Beberapa yurisdiksi juga mengizinkan vonis harus diputuskan meskipun terdapat perbedaan pendapat satu, dua, atau tiga juri.

Selama persidangan, pengacara menentang sisi pertanyaan saksi yang dipanggil untuk memberikan bukti. Para pengacara juga membuat pembukaan dan penutupan pernyataan kepada juri.Pada akhirnya, hakim membuat pernyataan akhir kepada juri. Menurut hukum Amerika, seseorang dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah. Juri tidak harus benar-benar yakin bahwa orang tersebut tidak bersalah. Mereka hanya perlu memiliki pertanyaan yang wajar dalam pikiran mereka. Kecuali mereka yakin bahwa orang tersebut bersalah seperti yang dituduhkan, mereka harus menemukan tersangka tidak bersalah.Juri bertemu secara pribadi untuk mencapai penghakiman. Kebanyakan negara bagian mewajibkan semua anggota juri dalam kasus kriminal untuk menyepakati putusan tersebut. Secara umum proses persidangan dalam Sistem Peradilan Pidana di Amerika Serikat ini terdiri dari beberapa pihak, yakni Hakim, Penuntut Umum, Pengacara, Terdakwa, Korban, Saksi, dan Juri. Sistem Juri mempunyai kelebihan dibanding dengan sistem peradilan pidana yang dilaksanakan di Indonesia, di mana sistem ini lebih mengutamakan pada masyarakat sebagai unsur sosial yang berdaulat, serta membatasi kekuasaan pemerintahan yang dijalankan oleh Hakim dan Penuntut Umum. Adagium yang sudah dianut Amerika Serikat selama bertahun-tahun adalah "lebih baik membebaskan 10 orang yang bersalah daripada menahan 1 orang yang tidak bersalah." Kedua dasar inilah yang menjadi landasan Amerika Serikat menganut Sistem Juri.


Tuesday, October 23, 2018

Israel dan hukum internasional


Hukum adalah seperangkat aturan yang bertujuan untuk mengatur tingkah laku manusia. Karena itu, ia bersifat memaksa dengan ancaman sanksi dan/atau pidana. Bertahun-tahun. Hukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas berskala internasional. Pada awalnya, Hukum Internasional hanya diartikan sebagai perilaku dan hubungan antarnegara namun dalam perkembangan pola hubungan internasional yang semakin kompleks pengertian ini kemudian meluas sehingga hukum internasional juga mengurusi struktur dan perilaku organisasi internasional dan pada batas tertentu, perusahaan multinasional dan individu. Hukum Internasional tidak memiliki perangkat yang sempurna seperti kekuasaan yang berdaulat hingga bisa memberikan sifat memaksa, namun dunia mematuhi hukum internasional sebagai bentuk bangsa yang beradab. Kini, kedaulatan Hukum Internasional kembali diuji. Seperti kita ketahui, Donald Trump secara sepihak mengumumkan akan memindahkan kedutaan besar Amerika dari Tel Aviv ke Jerusalem. Pernyataan Trump itu menunjukkan pengakuan Amerika Serikat bahwa Jerusalem adalah milik Israel. Janji Donald Trump pada saat kampanye dulu, antara lain, adalah mendukung Israel menguasai Jerusalem. Dan janji itu kini dipenuhi. Dunia pun marah. Demonstrasi merebak dimana-mana. Deklarasi Istanbul menyatakan, antara lain, menolak keputusan Donald Trump, mendesak negara-negara lain, terutama Eropa untuk tidak mengikuti langkah Amerika, dan menyatakan Jerusalem adalah ibukota Palestina. Deklarasi Istanbul diperkuat oleh pernyataan Raja Salman bin Abdul Aziz, yang meskipun tak hadir di KTT OKI namun menyatakan Jerusalem adalah ibukota Palestina. Menarik, pernyataan raja Salman disampaikan hampir berbarengan dengan Deklarasi Istanbul.

Dalam hukum internasional, pengakuan dibagi dua: Konstitutif dan Deklaratif. Teori konstitutif mengatakan, pengakuan adalah ipso facto dari berdirinya sebuah negara. Pada kasus Israel ini, ketika Amerika membangun kedutaannya di Tel Aviv, maka negeri itu menjalankan teori Konstitutif untuk menerima Israel sebagai sebuah negara. Dengan kata lain, Amerika menerima Israel sebagai negara sebab faktanya Israel menguasai tanah rakyat Palestina, secara deklaratif Donald Trump mengakui kedaulatan Israel atas Jerusalem sebab Amerika memindahkan kedutaannya dari Tel Aviv ke Jerusalem. Sejak lama, Israel menjadikan Jerusalem sebagai ibukotanya. Padahal, Jerusalem adalah tanah Palestina yang mereka rebut. Sebagai patron politik Timur Tengah, Amerika memiliki pengaruh yang luar biasa, terutama pada Saudi Arabia. Sejak lama Saudi Arabia menjalin kerjasama yang mesra dengan Amerika. Maka, sejak Donald Trump berkunjung ke negeri itu, sikap politik raja Salman bin Abdul Aziz terlihat semakin lunak. Jika Donald Trump tak mengubah keputusannya, maka kita akan menyaksikan sebuah pelanggaran di siang bolong. Donald Trump telah menginjak-injak berbagai Resolusi PBB atas kasus Palestina, sedikitnya ada 19 resolusi PBB atas sengketa Palestina – Israel ini. Dia juga telah membuktikan teori bahwa Hukum Internasional bukanlah sebuah hukum par-excellence, namun ia merupakan etika yang sangat bergantung pada siapa yang berkuasa. Tindakan Presiden Trump mengumumkan pengakuan AS atas Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel melanggar hukum internasional dan membahayakan proses perdamaian di Timur Tengah. Dewan Keamanan PBB dalam beberapa dekade terakhir sudah mengeluarkan berbagai resolusi yang menegaskan bahwa pendudukan Israel atas sebagian wilayah Yerusalem ilegal. Sebuah Resolusi DK PBB itu final dan mengikat bagi seluruh negara anggota PBB termasuk Amerika Serikat. DK PBB pernah mengeluarkan Resolusi 242 tahun 1967 yang memerintahkan Israel untuk mengembalikan wilayah-wilayah yang direbutnya melalui perang termasuk Yerusalem. Lalu ada Resolusi 476 DK PBB tahun 1980 dimana PBB tidak mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel dan memerintahkan seluruh negara anggota PBB untuk memindahkan kedutaan besarnya dari kota Yerusalem. Buntutnya tidak ada satu negara pun hari ini yang memiliki kedutaan besar di Yerusalem. Pertanyaanya adalah bagaimanakah langkah Indonesia dalam hal ini?

Tuesday, October 2, 2018

Praperadilan

Praperadilan adalah proses sebelum peradilan, praperadilan terdiri dari dua suku kata yaitu kata pra dan kata peradilan. kata pra dalam ilmu bahasa dikenal dengan pemahaman sebelum, sedangkan peradilan adalah proses persidangan untuk mencari keadilan. Pengertian Praperadilan adalah proses persidangan sebelum sidang masalah pokok perkaranya disidangkan. Pengertian perkara pokok ialah perkara materinya, sedangkan dalam praperadilan proses persidangan hanya menguji proses tata cara penyidikan dan penuntutan, bukan kepada materi pokok saja. Dalam praperadilan, yang disidangkan atau dalam istilah hukumnya yang diuji adalah masalah tata cara penyidikannya. Contohnya : ketika menangkap tersangka korupsi, apakah yang ditangkap itu betul-betul pelaku korupsi sebagaimana dimaksud dalam laporannya. Selanjutnya, dalam penahanan atau apakah penahanan itu tidak melanggar hukum karena telah lewat waktu penahanannya, apakah keluarga tersangka juga sudah dikirimi pemberitahuan mengenai tindakan penangkapan dan tindakan penahanan. Dalam pelaksanaan persidangan praperadilan diatur dalam pasal 77 UU No. 8 Tahun 1981 mengenai KUH pidana yang memberikan pengertian praperadilan yang berbunyi sebagai berikut.

Pengadilan negeri berwenang untuk memerikasa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU ini, mengenai :

(1) Sah atau tidaknya penangkappan, penahanan, penghentian, penyidikan atau penghentian penuntutan.

(2) Ganti kerugian atau rehabilitasi terhadap seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Jadi, menurut ketentuan di atas bahwa media praperadilan adalah media untuk menguji mengenai sah tidaknya tindakan aparatur negara bidang penegakan hukum terutama penyidik Polri dan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) apabila melakukan tindakan hukum yang berupa penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan. Yang perlu diperhatikan dalam gugatan praperadilan ini adalah tentang sah tidaknya tindakan di atas di lakukan. Pengertian sah tidaknya itu berkaitan dengan apakah tindakan yang dilakukan itu resmi apa tidak, jika resmi harus dilengkapi dengan dokumen-dokumen yang berupa surat tugas yang jelas menyangkut tugas penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau apakah petugas-petugas yang melakukan tugas sebagaimana tersebut di atas itu telah dilengkapi dengan surat perintah untuk melakukan tindakan-tindakan hukum. Dalam kenyataannya permasalahan praperadilan telah berkembang bukan hanya semata-mata masalah penangkapan, penahanan dan penghentian saja, melainkan masalah tembusan penangkapan dan penahanan juga ikut mewarnai adanya gugatan praperadilan. Dalam dunia praperadilan yang selama ini berlaku, yang sering terlibat dalam praperadilan atau yang menjadi termohon atau tergugat dalam praperadilan adalah institusi kepolisian negara republik Indonesia dan institusi kejaksaan republik Indonesia.
Praperadilan adalah media persidangan untuk menguji apakah peraturan perundang-undangan itu telah dipatuhi atau tidak dipatuhi oleh penyidik polri, termasuk penyidik pegawai negeri sipil, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dalam proses penegakan hukum pidana pada kenyataannya sering terjadi orang ditangkap dan ditahan tanpa adanya surat perintah penangkapan atau penahanan, bahkan proses penangkapannya sering pula dilakukan tanpa mengindahkan hak-hak asasi manusia, atau melanggar pasal 18 ayat 1 UU No.39 tahun 1999 tentang HAM, terkait asas praduga tak bersalah, yang berbunyi : ”Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan suatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan” dan berdasarkan pasal 4 UU yang sama, setiap orang memiliki ”hak untuk tidak disiksa” dalam penegakan hukum. Dan dalam pasal 9 ayat (2) UU No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pejabat yang melanggar ketentuan tersebut di atas bukan lagi dapat dipidana akan tetapi ”dipidana”. Seperti yang kita ketahui Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutuskan tentang : a) Sah tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan ; b) Sah tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan ; dan c) Permintaan ganti-rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan ;Hal mana tentang Praperadilan tersebut secara limitatif diatur dalam pasal 77 sampai pasal 83 Undang-undang No.8 tahun 1981 tentang KUHAP.
Sejauh ini di dalam praktiknya hak tentang Praperadilan tersebut hanya dilakukan oleh tersangka atau keluarga tersangka melalui kuasa hukumnya dengan cara melakukan Gugatan Praperadilan terhadap pihak Kepolisian atau terhadap pihak Kejaksaan ke Pengadilan Negeri setempat yang substansi gugatannya mempersoalkan tentang sah tidaknya penangkapan atau penahanan atau tentang sah tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan. Kita tidak pernah mendengar bahwa Kepolisian mempraperadilankan Kejaksaan tentang sah tidaknya Penghentian Penuntutan terhadap tersangka/terdakwa, atau sebaliknya pihak Kejaksaan mempraperadilankan pihak Kepolisian tentang sah tidaknya Penghentian Penyidikan. Perlu untuk diketahui oleh masyarakat pada umumnya dan Penegak Hukum pada khususnya bahwa pasal 77 s/d pasal 83 KUHAP yang mengatur tentang Praperadilan tidak hanya memberikan hak kepada tersangka atau keluarganya untuk mempraperadilankan Kepolisian dan Kejaksaan, namun pasal tersebut juga memberi hak kepada Kepolisian untuk mempraperadilankan Kejaksaan begitu juga sebaliknya pasal tersebut juga memberi hak kepada Kejaksaan untuk mempraperadilankan Kepolisian.
Namun dalam praktiknya hal semacam itu sangat sulit terjadi karena masing-masing pihak berusaha saling menjaga hubungan baik atas dasar pertimbangan rasa segan sesama aparat dan/atau adanya rasa saling membutuhkan dalam system kerja dan/atau adanya rasa “saling pengertian”. Dan kondisi semacam ini jika dibiarkan terus tanpa ada upaya untuk memperbaiki agar sesama penegak hukum tercipta budaya saling kontrol, maka iklim semacam ini pada gilirannya akan menganggu upaya penegakan supremasi hukum di negara Indonesia kita ini. Dalam negara hukum yang berusaha menegakkan supremasi hukum sangat diperlukan suatu lembaga kontrol yang independen yang salah satu tugasnya mengamati/mencermati terhadap sah tidaknya suatu penangkapan, penahanan atau sah tidaknya penghentian penyidikan suatu perkara pidana atau sah tidaknya alasan penghentian penuntutan suatu perkara pidana baik itu dilakukan secara resmi dengan mengeluarkan SP3, apalagi yang dilakukan secara diam-diam.
Di samping itu diharapkan juga pihak Kepolisian dapat mengontrol kinerja Kejaksaan apakah perkara yang sudah dilimpahkan benar-benar diteruskan ke Pengadilan. Begitu juga pihak Kejaksaan diharapkan dapat mengontrol kinerja Kepolisian di dalam proses penanganan perkara pidana apakah perkara yang sudah di SPDP (P.16) ke Kejaksaan yang dinilai telah cukup bukti pada waktunya benar-benar dilimpahkan oleh Penyidik ke Kejaksaan atau berhenti secara diam-diam. Di dalam era supremasi hukum ini Kepolisian harus berani mempraperadilankan pihak Kejaksaan jika suatu perkara yang telah dinyatakan cukup bukti (P.21) atau tahap 2, ternyata perkara tersebut tidak jadi dilimpahkan ke Pengadilan. Begitu juga sebaliknya. dan berbicara upaya prapradilan kayaknya ini hanya dapat diandalkan kepada pihak Advokat/Pengacara, sebagai penegak hukum yang independen. Yang jelas Praperadilan bukan hanya hak dari tersangka atau keluarga tersangka, tapi juga merupakan hak dari Kepolisian dan Kejaksaan.